Belajar dari Tukang Becak

Tukang becak sudah lama tak keliatan lagi di Jakarta. Propesi yang mengandalkan methekolnya otot ini dianggap lebih banyak mendatangkan masalah daripada menyelesaikan masalah. Alasan yang paling banyak mendasari dilarangnya becak beroperasi adalah perihal kesemrawutan yang ditimbulkan oleh becak. Padahal juga tak bisa dipungkiri, kendaraan roda tiga itu merupakan kendaraan yang ramah lingkungan. Bahan bakarnya cuma Blue Energy  alias air putih murni ditambah sego kucing limang pincuk yang cukup buat mancal mesin "3 tak" nya. Yakni tak injek, tak genjot dan tak gowes pedalnya.


Tarif yang diberlakukan tukang becak pun sangat rasional. Mereka menetapkan taris sesuai besaran energi yang dikeluarkan, yang tentu saja sesuai dengan hukum Newton yang melibatkan jarak dan waktu (s) serta gaya (F). Jarak Pasar Pon ke Pasar Legi yang cuma sepeminuman teh itu tentu saja berbeda taripnya dibanding dengan jarak Pasar Pon ke Palur, yang biasa dibilang berjarak sepeminuman teh sak teko . Dan para abang becak ini tidak akan mengambil job yang melibihi batas kesanggupannya, walaupun dijanjikan bayaran sak tekruk. Coba saja dia disuruh ngantar sampeyan dari Solo ke Semarang. Kalaupun dia mau, tentu saja itu disebabkan kekhawatirkan bahwa sempeyan makin tambah kumat kenthirnya kalau keinginan itu gak dituruti. Jadi yang waras ngalah saja...

Prinsip tarip tukang becakini patut dicontoh. Seseorang hanya menerima imbalan sesuai besaran kerja yang diperbuatnya. Dalam keseharian seorang dokter praktek, seringkali ada ganjelan di hati, manakala pasien yang sudah membayar tarip tertentu pada si dokter, ternyata sakitnya belum sembuh. Tentu saja ini bukan disebabkan faktor dari sang dokter saja, karena banyak faktor yang terlibat di dalam kesembuhan pasien. Tapi secara moral, si dokter merasa ikut bertanggung jawab.

Namun ada juga segolongan oknum yang pinginnya dibayar lebih untuk sesuatu yang tak pantas dibayar mahal. Sebagai contoh Lek Parto Blendhuk, penjual buah yang beroperasi di sekitar terminal Pulo Gadung. Oknum ini sudah 3 kali ganti timbangan, dan selalu saja besi seberat hampir 3 ons itu dengan setia gondhal-gandhul memberati timbangan tuannya. Sehingga khusus untuk daerah kekuasaan Lek Parto Blendhuk ini, yang namanya sekilo setara dengan 7 ons. Barangnya hanya 7 ons, tapi bayaran yang dia terima sebesar sekilo penuh.


Di negeri yang konon berdasarkan Pancasila ini, gaji yang jumlahnya besar, rata-rata berasal dari perusahaan yang bergerak di sektor perbankan, pertambangan dan energi. Kalau sampeyan ketemu konco lalu ketahuan dia bekerja di pertambangan minyak, sampeyan pasti langsung berpikir, "Mesti sugeh mblegedhu cah iki..." Atau dia bekerja di satu Bank (tentu saja Bank plecit gak termasuk), sudah terbayang di benak sampeyan orang ini pasti bukanlah oknum yang bergaji kecil.

Dan memang ada alasan logis mengapa dibayar mahal. Tepi tentu saja kemahalan bayaran itu ada tanggungjawabnya. Jika tak bisa mempertanggungjawabkan di dunia, sudah pasti alam akhirat tidak akan mendiamkan ketimpangan itu.

Coba lihat fakta riil di lapangan. Dengan gaji besar yang sudah diterima penguasa duit tambang dan energi beserta pekerjanya itu, ha kok ternyata harga migas masih mencekik leher rakyat kecil, tidakkah secara moral bos-bos regulator minyak itu malu saat menerima gaji mereka? Tidakkah terbebani hidup mereka, bahwa dengan menaikkan harga migas dan memadamkan listrik bergilir itu menyebabkan susahnya hidup orang banyak? Mengapa tak diturunkan saja bayaran mereka sebagaimana abang becak yang hanya mampu mengantar customernya sejauh sepeminuman teh, maka dia hanya antar sejauh itu dan menerima bayaran sebesar itu? Bahkan kalo sudah tak mampu, ya pensiun saja mbecaknya.

Salah satu opsi yang pernah ditawarkan rakyat yang mungkin gak bakalan terkabul adalah menurunkan gaji para pejabat negara maupun BUMN guna menutupi cost penyelenggaraan negara.

Sudah saatnya bos-bos minyak, bos PLN ataupun bos Perbankan dan juga para pejabat negara yang bertanggung jawab atas kejadian apa pun di bidang mereka, melihat dan membandingkan mental dan moral mereka dengan mental dan moral tukang becak. Jangan bermental ala Lek Parto Blendhuk yang maunya menerima bayaran sekilo tapi bisa memberi 7 ons dan berbangga dengan itu.

"Barangsiapa meringankan beban seorang Muslim, Allah akan ringankan beban hidup di dunia dan akhirat....."

Tulisan ini saya dedikasikan untuk Pakdhe Jati, sesepuh dalam keluarga besar saya yang masih setia dengan becaknya.

0 komentar:

Posting Komentar




 
Indonesia POLRI BNN STMIK Swadharma logo_sma_muga
kompas_muda Aqua kompas