Saya pernah kedatangan seorang anak kecil berumur sekitar 7 tahun, yang dengan memelasnya menengadahkan tangan dan keluar dari mulut mungilnya kalimat, "Mas sedekahnya mas, sedekahnya..."
Saya lalu masuk ke dalam rumah, karena kebetulan ada beberapa potong biskuit lezat milik adek ponakan. Begitu saya keluar, si anak sudah gak ada. Eh, rupanya sedang melafalkan mantra serupa di rumah sebelah. Saya panggil saja anak laki-laki itu yang saat itu memakai kopiah haji itu.
"Hai, sini... ini ada makanan enak buat kamu. Dimakan ya..." kata saya mbujuki. Anak itu datang dan mengambil roti biskuit tersebut. Kesempatan itu saya gunakan untuk bertanya.
"Saya tinggal sama engkong Mas, uang ini mau saya pakai buat uang sekolah" jawab anak itu. Sayang, jawabannya tidak lugu. Seperti apalan yang memang sengaja disiapkan kalo ada pertanyaan seperti pertanyaan saya itu.
"Ah, kamu ada-ada saja. Gini aja, kalo kamu lapar atau butuh makan, jangan minta-minta ya. Main kesini aja, entar mas siapin makanan. Tapi jangan minta-minta ya... apa gak malu?"
Saya lihat anak itu mengangguk. Tapi saya gak yakin omongan saya ini akan diturutinya. Tapi yang jelas model anak-anak seperti yang saya lihat itu ribuan jumlahnya di ibukota ini. Bahkan di saat jam sekolah pun mereka malah banyak bertebaran di jalanan. Anehnya tetep saja ada yang beralasan bahwa mereka berbuat begitu buat nyari uang sekolah.
Negeri ini telah membuat program "Wajib Belajar 9 tahun". Sayang, kata "Wajib Belajar" itu banyak yang gak paham maknanya. Subyek dan obyeknya siapa, kabur. Wajib buat siapa, dan wajib yang bagaimana, sampai saat ini banyak yang gak mudeng. Bandingkan dengan program "Wajib Pakai Helm" atau "Wajib Sabuk Pengaman". Yang diwajibkan adalah pengemudi motor dan mobil, Jika gak pakai, maka dihukum, ada sanksinya.
Dulu saya semasa kecil memahami kata wajib belajar itu dengan gambaran kalo ada anak kecil gak sekolah maka akan dihukum. Karena sekolah itu diwajibkan. Kenyataannya tidak seperti itu. Maka saya mangkin bertanya-tanya, apa makna wajib belajar yang sesungguhnya.
Miturut saya "Wajib Belajar" itu gak pas. Harusnya diganti dengan "Wajib Sekolah". Karena yang namanya belajar tak dibatasi waktu, harus 9 tahun, 12 tahun atau sekian tahun. Dulu program wajib belajar itu cuma 6 tahun, sekarang berubah menjadi 9 tahun.
Melihat adanya perubahan dari 6 tahun menjadi 9 tahun ini, barulah saya mengerti... siapa sebenarnya yang DIWAJIBKAN dari kata "WAJIB Belajar" itu. Siapa lagi kalo bukan PEMERINTAH. Artinya, di sini pemerintah Wajib menyelenggarakan dan menyediakan segala fasilitas belajar alias sekolah, bagi anak usia sekolah sampai 9 tahun. Maka kalo ada anak usia sekolah kok tidak sekolah, malah jualan asongan, ngemis, ngamen atau ngimeng, maka ini Dosa Pemerintah.
Jadi asal kata WAJIB itu, mulanya ditujukan pada pemerintah. Kalo untuk warga negara, wajib tidaknya sekolah dan berapa tahunnya itu nyusul, tergantung kesanggupan pemerintah untuk menyelenggarakannya. Ini yang justru tak dipahami oleh banyak guru. Kalo guru-guru dan kepala sekolah paham bahwa kata WAJIB itu sebenarnya ada di pundak mereka, maka mereka akan membuka jalan mulus tanpa banyak cincong bagi semua anak usia sekolah yang mau masuk sekolah mereka. Si sini harga tawar anak usia sekolah lebih tinggi.
Sayangnya yang terjadi sebaliknya. Para guru di level SD dan SMP yang menjadi sasaran Wajib Belajar itu beranggapan bahwa kata WAJIB itu asal muasalnya memang ditujukan bagi si murid. Maka karena wajib, si murid harus sekolah, kalo gak sekolah berarti melanggar kewajiban. Harga tawar sekolah yang lebih tinggi. Akhirnya karena merasa DIWAJIBKAN, si ortu biayakan buat nyari sekolah untuk anaknya. Si guru dan kepala sekolah paham peluang. Maka tak heran ada beberapa guru atau kepala sekolah, tiap tahun ajaran baru, mobil atau motornya ganti yang baru dan kinyis-kinyis.
Padahal kalo logikanya jalan, mengapa ada istilah Wajib Belajar 6 tahun lalu berubah menjadi 9 tahun, itu karena kata WAJIB itu sebenarnya asal muasalnya dipikulkan di pundak penyelenggara pendidikan. Jadi Dosa para penyelenggara Pendidikan Dasar 9 tahunlah, kalo masih ada anak-anak usia sekolah yang masih berkeliaran gak sekolah.
Tapi ini pemikiran saya lho, saya kan gak paham isi Undang-Undang Pendidikan. Saya hanya berlogika mengapa ada Wajib Belajar 9 tahun yang gak jelas subyek dan obyeknya, serta siapa yang diwajibkan dan yang mewajibkan itu. Karena ketidakjelasan ini berpengaruh padamentalitas para penyelenggara pendidikan. Selama para penyelenggara pendidikan tidak paham siapa sebenarnya asal muasal pemikul kewajiban ini, maka mereka akan cuek bebek bunting menghadapi anak-anak usia sekolah yang berceceran tak terdaptar di sekolah mana pun.
0 komentar:
Posting Komentar